PADANG - Sebagai salah satu upaya dalam pemenuhan layanan terhadap masyarakat, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) kembali mematangkan konsep pendidikan untuk anak-anak pedalaman Mentawai.
Direktur YCMM, Rifai mengatakan meskipun YCMM bukanlah yayasan yang fokus terhadap pendidikan, namun pendidikan juga penting sebagai usaha mempertahankan hak-hak masyarakat adat. "Konsen kita itu terhadap hak-hak masyarakat adat, perlindungan serta pengelolaan terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Namun, kita juga hadir dalam pemenuhan layanan terhadap warga dalam memperkuat hak-hak masyarakat adat dan mepertahankan haknya," ujar Rifai dalam pembukaan workshop perumusan konsep sekolah uma di Pangeran City Hotel, Padang, 21 Mei 2018.
Diceritakan Rifai, cikal bakal sekolah uma, lembaga pendidikan yang sudah dibangun YCMM sejak 2004 lalu, berawal dari perpustakaan. "Awalnya hanya perpustakaan, namun banyak yang tidak bisa membaca, saat itulah kita mulai inisiasi sekolah uma," jelasnya.
Hingga saat ini, kata Rifai, YCMM masih mencari konsep dan model yang tepat untuk diterapkan di sekolah uma tersebut. "Kita juga punya kritikan terhadap lembaga pendidikan formal selama ini, sekolah itu hanya mengajarkan ilmu pergi, bukan ilmu menetap. Kalau seperti itu, siapa lagi yang akan menjaga wilayah adat nantinya," ungkap Rifai.
Sudah berbagai upaya dilakukan YCMM dalam meperjuangkan sekolah uma, termasuk menyampaikannya kepada Kementerian Pendidikan. "Kita juga pernah lapor ke Kementerian Pendidikan, tanggapan yang kita dapat, kita disuruh bikin proposal. Namun, menurut kami itu bukan solusi, yang kita butuhkan itu sebenarnya soal kebijakan," jelas Rifai.
Rifai berharap, hadirnya sekolah uma, dapat menjadi alternatif bagi anak-anak pedalaman Mentawai dalam mendapatkan layanan pendidikan yang selama ini jauh dari jangkauan. "Keinginan kita, sekolah uma dijadikan sebagai pusat pembelajaran pengelolaan wilayah adat," ujarnya.
Yang kita takutkan saat ini, ketika yayasan tidak lagi sanggup membiayai sekolah uma, nanti harapan mereka juga putus, kata Rifai.
YCMM sudah mendirikan 5 sekolah di Siberut, dulu dinamakan sekolah hutan karena memang sekolah didirikan dalam kawasan hutan, dimana orang-orang Mentawai tinggal secara berpencar. Namun seiring waktu, dua sekolah menjadi filial sekolah pemerintah dan Yayasan Prayoga.
Kini, YCMM mengelola tiga sekolah yang kini dinamakan sekolah uma yakni Sekolah Uma Tinambu di hulu Sungai Silaoinan Siberut Tengah, Sekolah Uma Siata Nusa di Attabai, Siberut Selatan dan Sekolah Uma Gorottai, Siberut Utara.
Dijelaskan Rifai, YCMM perlu merumuskan kembali konsep sekolah alternatif yang sudah berjalan selama 14 tahun agar sekolah yang dikelola YCMM tidak sekedar menjadi tempat memberi pelajaran calistung bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, tapi juga sekaligus menjadi pusat pengembangan pengetahuan pengelolaan wilayah adat.
Ke depan, sekolah yang didirikan tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga menjadi ruang belajar dan berdiskusi para orang tua untuk membangun pengetahuan, keterampilan dan serta sikap yang tetap menjaga kearifan lokal dan menjaga nilai-nilai sejarah sebagai orang Mentawai.
Workhshop perumusan konsep sekolah uma yang diselenggarakan YCMM juga menghadirkan pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta, Sri Wahyaningsih.
Menurut Sri Wahyaningsih atau yang akrab disapa Wahya, sekolah harus memerdekakan, bukan mengikat. "Bagaimana sekolah itu bisa mengembangkan potensi yang ada pada peserta didiknya, bukan hanya sekedar transfer ilmu dari buku. Kalau soal ijazah, sebenarnya juga sudah ada perusahaan yang tidak mementingkan itu, tapi lebih melihat terhadap skill yang dimiliki," ujar Wahya.
Dikatakan Wahya, Salam yang ia dirikan memberikan leluasa terhadap peserta didik dengan kemampuan yang dimiliki. Bahkan, setiap proses belajar mengajar, hampir selalu melakukan riset. Sedangkan fokusnya yaitu soal pangan, kesejahteraan, lingkungan hidup dan sosial budaya.
Selain itu, menurut Wahya, tujuan pendidikan itu, bisa melihat peserta didik itu mampu apa? terampil apa? dan juga sikap, katanya.
Comments